Campak merupakan penyakit infeksi virus akut serius yang sangat menular. Campak disebabkan oleh Paramyxovirus dan ditularkan terutama melalui udara (airborne). Attack rate penularannya lebih dari 90% dari individu yang terinfeksi sejak 4 hari sebelum sampai 4 jam setelah munculnya ruam. Masa inkubasi penyakit ini terjadi pada 7-18 hari.
Gejala campak ditandai dengan :
- Demam dengan suhu badan biasanya >380C selama 3 hari atau lebih dan akan berakhir setelah 4-7 hari. Demam tinggi terjadi setelah 10-12 hari setelah tertular. Terdapat pula batuk, pilek, mata merah atau mata berair (3C: cough, coryza, conjunctivitis).
- Tanda khas (patognomonis) ditemukan Koplik's spot atau bercak putih keabuan dengan dasar merah di pipi bagian dalam.
- Gejala pada tubuh berbentuk ruam makulopapular. Ruam muncul pada muka dan leher, dimulai dari belakang telinga, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Ruam bertahan selama 3 hari atau lebih pada kisaran hari ke-4 sampai ke-7 demam. Ruam muncul saat demam mencapai puncaknya. Ruam berakhir dalam 5 sampai 6 hari, dan menjadi berwarna seperti tembaga atau kehitaman.
Campak dapat menjadi masalah serius untuk semua kelompok umur. Akan tetapi anak berusia di bawah 5 tahun dan dewasa lebih dari 20 tahun lebih sering mengalami komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi telinga yang dapat menyebabkan gangguan pendengaran, serta diare (1 dari 10 anak). Beberapa dapat mengalami komplikasi berat berupa pneumonia (1 dari 20 anak) yang merupakan penyebab kematian tersering pada campak, dan ensefalitis (1 dari 1000 anak) yang dapat berakhir dengan kematian. Setiap 1000 anak yang menderita campak, 1 atau 2 di antaranya meninggal dunia.
Subacute sclerosing panencephalitis (SSPE) merupakan komplikasi yang sangat jarang, tetapi merupakan penyakit sistem saraf pusat yang fatal akibat infeksi virus campak yang diderita pada saat kanak-kanak. SSPE umumnya terjadi 7-10 tahun setelah seseorang menderita campak, walaupun telah sembuh. Risiko SSPE lebih besar pada anak yang menderita campak pada usia kurang dari 2 tahun. Campak juga dapat menyebabkan ibu hamil melahirkan sebelum waktunya, atau melahirkan bayi dan berat lahir rendah.
Peningkatan Kasus Campak di Berbagai Belahan Dunia
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan peningkatan kasus campak 4 (empat) kali lipat secara global dalam tiga bulan pertama tahun 2019 dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu. Angka ini mungkin lebih tinggi lagi karena diperkirakan hanya 1 (satu) yang dilaporkan dari 10 kasus yang terjadi.
Peningkatan tertinggi terjadi di Afrika, yaitu mencapai 700%. Ukraina, Madagaskar, dan India melaporkan puluhan ribu kasus/juta orang dengan angka kematian di Madagaskar sekitar 800 orang. Kejadian luar biasa campak juga dialami Amerika Serikat dan Thailand dengan tingkat cakupan imunisasi campak yang cukup tinggi.
Keberhasilan Imunisasi Campak
Sebelum vaksin campak dikenalkan pada tahun 1963 dan digunakan secara luas, infeksi virus campak hampir universal selama masa kanak-kanak, dan hampir 90% kebal saat berusia 15 tahun. Campak masih merupakan penyakit fatal di negara berkembang. Walaupun vaksin yang aman dan cost-effective telah tersedia, terdapat 110.000 kematian global akibat campak pada tahun 2017, sebagian besar mengenai anak berusia di bawah 5 tahun. Vaksinasi berhasil menurunkan 80% kematian akibat campak di seluruh dunia antara tahun 2000 sampai 2017.
Selama tiga tahun terakhir, beberapa negara di Eropa memiliki kelompok tertinggal dalam imunisasi, yaitu yang terpinggirkan (marginalized) dan rentan (vulnerable) sehingga sampai Februari 2019 terdapat lebih dari 34.000 kasus campak. Pada bulan Maret 2019, UNICEF mengungkapkan terdapat lebih dari 20 juta anak di dunia tidak mendapat imunisasi campak selama delapan tahun terakhir.
Mengapa Kasus Campak Mengalami Peningkatan?
Sebelum dilaksanakan program imunisasi campak, epidemi terjadi setiap beberapa tahun, namun dengan suksesnya pemberian vaksinasi campak, kasus menjadi sangat jarang ditemui di banyak tempat. Vaksin campak digunakan hampir di seluruh negara di dunia pada 1980-an, dan berdampak kasus menurun secara signifikan, sehingga beberapa negara menyatakan bahwa vaksin itu telah dieliminasi.
Selama beberapa tahun cakupan global dosis pertama campak adalah 85%, sedangkan dosis kedua adalah 67%. Cakupan imunisasi ini sangat kurang dari 95%, yaitu angka yang dibutuhkan untuk mencegah wabah.
Pada tahun 2017, cakupan imunisasi campak di Eropa mencapai angka tingkat tertinggi yaitu sekitar 90 persen, namun demikian para ahli sepakat cakupan tersebut belum cukup karena diperlukan angka capaian 95% untuk menjadikan adanya kekebalan kelompok (herd immunity), mengingat campak adalah penyakit yang sangat mudah menular dengan attack rate lebih dari 90%.
Apa yang Terjadi dengan Kekebalan terhadap Campak?
Adanya kesenjangan kekebalan terbukti pada anak dan dewasa muda di Meksiko, Prancis dan Madagaskar yang hampir tidak memiliki titer kekebalan terhadap campak. Ketidakberhasilan mencapai cakupan 95%, juta menyebabkan makin banyaknya individu yang tidak kebal.
Alasan rendahnya cakupan imunisasi campak antara satu negara dengan negara lain tampaknya berbeda. Sebagai contoh di Inggris. Kekhawatiran tentang keamanan vaksin campak, gondongan (mumps), dan rubela (MMR) setelah publikasi efek samping autism pascaMMR, yang saat ini sudah tidak akui, memberi dampak besar berupa penurunan cakupan menjadi 80% di Inggris pada tahun 2004 dan mulai tahun 2017-2018 barulah cakupan meningkat hingga lebih dari 90% pada anak usia sampai 2 tahun. Namun demikian, terdapat banyak remaja dan dewasa muda yang tidak diberikan MMR dan mereka menjadi rentan mengalami infeksi termasuk campak, rubela, dan mumps.
Kasus campak di Ukraina saat ini mencapai 25.000 dengan angka kematian 13 orang. Hal ini akibat pengaruh terjadi kematian pada seorang remaja setelah vaksinasi campak pada tahun 2008 dan diperburuk oleh situasi politik pada tahun 2016. Ukraina adalah salah satu negara dengan cakupan vaksin terendah yaitu hanya 1 (satu) dari 3 (tiga) anak usia enam tahun yang mendapat 2 (dua) dosis vaksin.
Campak dinyatakan sudah tidak ditemukan di AS pada tahun 2000, yaitu 3 (tiga) dekade setelah vaksin campak menjadi program nasional. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah besar orang tua memilih untuk tidak memvaksinasi anak-anak mereka. Masyarakat juga tidak mengenal penyakit campak sehingga tidak memandang penting dan memiliki keyakinan bahwa kasus tidak mungkin terjadi di sekitar mereka. Para Ahli di Amerika telah memprediksi bahwa “campak, salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin dan memiliki sifat paling menular, adalah infeksi yang akan pertama kali muncul kembali apabila cakupan imunisasi menurun.” Pada populasi yang tidak diimunisasi, 1 (satu) kasus campak akan menginfeksi 12-18 individu. Saat ini, wabah campak terbesar terjadi di Amerika Serikat terbanyak di New York yaitu sebanyak 400 kasus, terkonsentrasi di komunitas tertentu yang tidak diimunisasi seperti halnya juga di Israel, Thailand, dan Tunisia.
Bagaimana Situasi di Indonesia
Kejadian luarbiasa nampak pada tahun 2015-2017 di hampir setiap provinsi dengan jumlah provinsi melaporkan KLB meningkat dari 27 provinsi tahun 2015 menjadi 30 provinsi tahun 2017. Peningkatan ini diantaranya karena perbaikan kewaspadaan dini terhadap kasus campak, yaitu petugas lebih cepat menangkap adanya peningkatan kasus. Kecepatan dalam mendeteksi kasus ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan, antara lain melalui kampanye Campak Rubela.
Berdasarkan data surveilans dan cakupan imunisasi, maka imunisasi campak rutin saja belum cukup untuk mencapai target eliminasi. Kampanye imunisasi measles rubella (MR) diperlukan dalam rangka akselerasi pengendalian rubella sebelum introduksi vaksin tersebut ke dalam imunisasi rutin. Oleh karena itu, diperlukan kampanye pemberian imunisasi MR pada anak usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun. Pemberian imunisasi MR pada usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun dengan cakupan tinggi (minimal 95%) dan merata diharapkan akan membentuk imunitas kelompok (herd immunity), sehingga dapat mengurangi transmisi virus ke usia yang lebih dewasa dan melindungi kelompok tersebut ketika memasuki usia reproduksi. Pelaksanaan kampanye vaksin MR pada anak usia 9 bulan hingga 15 tahun dilaksanakan secara bertahap dalam 2 fase sebagai berikut:
- Fase1 di bulanAgustus-September 2017di seluruh Pulau Jawa
- Fase 2 bulan Agustus-September 2018 di seluruh Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
Pemerintah telah melaksanakan imunisasi Campak tambahan pada bulan Agustus 2016, dan imunisasi MR di provinsi di Pulau Jawa pada Bulan Agustus sampai dengan September 2017. Kampanye imunisasi tersebut bertujuan untuk untuk memberikan kekebalan tambahan terhadap campak dan rubela sehingga dapat mengurangi kasus dan kejadian KLB campak. Hal ini dibuktikan adanya penurunan kasus dan tidak adanya laporan KLB Campak pada bulan Oktober 2017 sampai dengan Maret 2018 di wilayah pelaksanaan imunisasi. Kampanye MR pada bulan Agustus dan September tahun 2017 sangat signifikan terhadap terjadinya penurunan KLB. Cakupan imunisasi campak secara nasional sebesar 87,80%, namun hasil yang cukup baik ini terutama di Pulau Jawa.
Gambar 1 Cakupan Imunisasi Kampanye MR 2017-2018
Hasil kampanye MR di luar Pulau Jawa tidak seperti yang diharapkan, sehingga memerlukan tindakan khusus untuk meningkatkan cakupan imunisasi. Terhadap daerah yang belum memenuhi target, kewaspadaan terhadap kemungkinan KLB perlu ditingkatkan dengan kegiatan surveilans dan pelaporan kejadian campak oleh para tenaga kesehatan ke Dinas Kesehatan setempat.
Surveilans Campak
Selain pelaksanaan imunisasi, salah satu strategi untuk mencapai eliminasi dan pengendalian campak di Indonesia adalah pelaksanaan surveilans campak berbasis individu yang dikenal juga dengan CBMS (case based measles surveillance). Pelaksanaan surveilans ini, sebagai berikut: jika ditemukan setiap satu kasus dengan gejala demam, ruam pada tubuh, disertai salah satu gejala atau lebih batuk/pilek/mata merah, maka diambil spesimen darah/serum untuk diperiksa di laboratorium rujukan, nasional yaitu Badan Litbangkes Kemenkes, Bio Farma, BBLK Surabaya dan BLK Yogyakarta untuk memastikan diagnosis campak atau rubela.
Gambar 2 Lokasi Laboratorium Campak di Indonesia
Pada saat tertentu, adanya peningkatan kasus di suatu wilayah dapat menyebabkan penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) pada wilayah tersebut. Kejadian luar biasa suspek campak terjadi ketika ditemukan 5 atau lebih suspek campak dalam waktu 4 minggu berturut-turut, terjadi mengelompok dan memiliki hubungan epidemiologi. Kejadian luar biasa campak pasti terjadi ketika ada KLB suspek campak dengan hasil laboratorium ≥2 IgM campak. KLB rubela pasti terjadi ketika terdapat KLB suspek campak dengan hasil laboratorium ≥ IgM Rubella.
Tatalaksana Campak
Sampai saat ini tidak tersedia obat antivirus khusus untuk campak. Komplikasi berat akibat campak dapat dicegah melalui tindakan suportif dengan memastikan asupan nutrisi dan cairan adekuat, mengatasi dehidrasi bila terjadi. Antibiotik hanya diberikan bila dicurigai terdapat infeksi bakterial sekunder, atau terdapat penyulit seperti radang telinga tengah dan pneumonia. Semua anak yang didiagnosis campak harus mendapatkan suplementasi vitamin A sebanyak 2 dosis.
Imunisasi campak rutin untuk anak dan kampanye MR masal di negara dengan angka morbiditas dan mortalitas tinggi merupakan strategi utama untuk menurunkan angka kematian global. Vaksin campak telah digunakan hampir 50 tahun dan aman digunakan, pemberian 2 (dua) dosis dapat mencegah terjadinya kasus. Ikatan Dokter Anak Indonesia, The American Academy of Pediatrics (AAP), the Centers for Disease Control and Prevention, dam the American Academy of Family Physicians merekomendasikan pemberian vaksi MMR pada usia 12-15 bulan dan 4-6 tahun.
Di Amerika Serikat, warga yang menolak untuk dilakukan imunisasi sedang diajukan untuk menghadapi gugatan pelanggaran aturan dan denda 1.000 US, demikian pula negara Eropa Barat yang akan memberlakukan denda 2.500 Euro bila menolak imunisasi.
Pencegahan penularan campak juga dilakukan dengan cara mengisolasi pasien. Baru-baru ini 2 (dua) Universitas Negeri di Los Angeles melakukan karantina terhadap mahasiswa dan staf yang mengalami campak serta terpajan oleh campak. Mereka kemudian diperbolehkan keluar dari kampus setelah tidak terbukti mengalami infeksi, namun tetap dikarantina di rumah sampai 2 (dua) kali masa inkubasi yaitu selama 30 (tiga puluh) hari.
Peran IDAI Menurunkan Kasus Campak
Sebagai organisasi profesi yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mendiagnosis dan menatalaksana campak, sudah seyogyanya berupaya melakukan advokasi ke Pemerintah untuk memperkuat surveilans campak. Para Dokter Spesialis Anak, Dinas Kesehatan setempat, dan Laboratorium Campak perlu saling bekerja sama baik dalam pelaporan, pemeriksaan, maupun pemberian feed back hasil laboratorium campak, dengan kata lain para klinisi dan pengelola kesehatan daerah saling bersinergi untuk kasus campak.
Provinsi dengan cakupan imunisasi yang rendah pada saat kampanye MR, demikian pula area kantong dengan cakupan rendah pada area yang telah sesuai target, perlu mendapat perhatian penuh oleh IDAI Cabang, karena berpotensi untuk mengalami KLB campak. Antisipasi pencegahan KLB campak adalah dengan IDAI sebagai organisasi profesi menjadi yang terdepan mengajak berbagai profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), juga Depdikbud, Depag, Depdagri, MUI, dan Kemenkes, untuk melakukan kembali imunisasi MR. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang juga memiliki kepentingan untuk menekan kasus campak secara global diharapkan tetap mendukung Indonesia dalam kegiatan tersebut. Tidak lupa pula, IDAI mendapatkan kesempatan untuk melakukan penelitian terkait infeksi campak bekerjasama dengan semua pihak terutama Laboratorium Campak, pada akhirnya kerjasama yang baik tersebut dapat berkontribusi untuk menekan kasus campak di dunia.
Oleh:
Anggraini Alam dan Yulia Iriani
UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI