SKIP CHALLENGE sedang banyak diperbincangkan dikalangan remaja. Skip challenge atau pass out game adalah aktifitas pada saat seseorang secara sengaja menghentikan ariran darah atau oksigen ke otak untuk mencapai sensasi “high” (euforia). “Permainan“ Ini dimulai sejak 1955 di Amerika Serikat dan telah menyebabkan kematian lebih dari 1000 remaja antara 2005 – 2007. Sebagian besar remaja yang melakukan permainan ini adalah remaja laki – laki berusia 7 -19 tahun. Di Indonesia, tren ini sedang marak di kalangan remaja.
“Permainan” ini dapat dilakukan sendiri atau bersama beberapa teman. Skip challenge dilakukan dengan menekan bagian leher dengan handuk, seperti mencekik (strangulasi), atau menekan dada dengan tangan oleh diri sendiri atau teman. Ketika partisipan merasa hampir pingsan, tekanan pada leher kemudian dilepaskan. Penekanan pada leher akan menutup jalan nafas dan aliran darah ke otak sehingga pasrtisipan akan pingsan selama beberapa detik sampai menit. Bahkan dapat juga menyebabkan kejang.
Euforia didapat dari sensasi yang dicapai sebelum hilang kesadaran - yaitusensasi ringan pada kepala (lightheadedness)- yang diikuti sengan sensasi akibat kembalinya aliran darah dan oksigen setetlah tekanan dilepaskan. Sel otak yang mengalami kekurangan pasokan oksigen akan menyebabkan hypoxic-anoxic brain injury(HAI), yaitu kerusakan sel otak permanen. Efek dari HAI bervariasi, dari kehilangan kesadaran, kejang, kematian, hingga efek jangka panjang.
Sel otak mengalami kematian dalam hitungan menit sejak terputusnya aliran oksigen. Tergantung dari bagian otak yang mengalami kerusakan, efek HAI dapat berupa gangguan gerak, penglihatan serta bahasa. Gangguan gerak yang dialami pada saat melakukan “permainan” ini sangat berbahaya karena menyebabkan remaja tidak dapat melepaskan lilitan di lehernya sehingga terjadi kematian. Dalam jangka panjang, penyandang HAI dapat mengalami disabilitas secara mental dan fisik.
Remaja biasanya mendapat informasi seputar tren ini dari media sosial berupa video yang disebarkan oleh remaja lainnya. Berdasarkan studi oleh Center of Disease Control and Prevention (CDC) pada 2012 di Oregon, remaja yang tinggal di daerah rural (pedesaan0, memiliki gangguan kesehatan mental, megonsumsi alkohol, serta memiliki perilaku vandal lebih cenderung berpartisipasi dalam tren ini. Desakan dari teman sebaya juga memiliki andil dalam “permainan” berbahaya ini.
Pada artikel lanjutan minggu depan, akan dibahas seputar tanda dan berbahayanya “permainan” ini. Termasuk, langkah yang sebaiknya dilakukan orangtua.
Sumber gambar : http://emedicine.medscape.com/article/884136-overview
Penulis : Dr. Natharina Yolanda dan DR.Dr. Hartono Gunardi, Sp.A(K)
Artikel ini pernah dimuat di rubrik Apa Kata Dokter, KOMPAS, Minggu, 19 Maret 2017.
Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Simak artikel lainnya :